Sepanjang perjalanannya sebagai bangsa merdeka, Indonesia telah beberapa kali dihantam petaka ekonomi. Yang pertama terjadi pada tahun 1959-1966 (selanjutnya disebut “petaka 59-66”) dan berujung pada jatuhnya rezim Orde Lama. Yang kedua terjadi pada tahun 1997-1998 (selanjutnya disebut “petaka 97-98”) dan berakhir pada runtuhnya rezim Orde Baru. Dua petaka tersebut, pada masanya masing-masing, sangat mengguncang dan menyusahkan bangsa.
Petaka ekonomi itu menyusahkan segenap elemen bangsa melalui keadaan ekonomi yang buruk. Masyarakat kesulitan membeli barang karena harganya meroket dan jumlahnya langka, banyak usaha ditutup karena kerugian/bangkrut, dan dimana-mana orang kehilangan pekerjaan karena banyak terjadi PHK. Petaka ekonomi yang pernah bangsa kita hadapi itu memang buruk namun darinya terdapat pelajaran untuk bersikap optimistis, seperti dua pelajaran berikut ini.
Pertama, sikap optimistis sangatlah dibutuhkan agar kita bisa bertahan menghadapi segala keadaan yang memburuk akibat dari petaka ekonomi. Dengan sikap optimistis, kita akan mampu terlepas dari kecemasan berlebihan yang bahkan dapat membahayakan kesehatan kita, tetap tenang dalam mengambil keputusan, dan tidak khawatir.
Petaka 59-66 terjadi, antara lain, karena defisit besar-besaran anggaran pemerintah yang memprioritaskan proyek mercusuar. Defisit itu pun memicu inflasi yang ekstrim sehingga pemerintah menerapkan kebijakan pemotongan nilai pecahan uang : Rp 1.000 menjadi Rp 100 dan Rp 500 menjadi Rp 501! Sayangnya, masyarakat yang dirugikan kebijakan itu menyikapinya dengan tak bersikap optimistis sehingga “banyak yang pingsan, bahkan meninggal mendadak, karena syok”2 atas kebijakan itu.
Petaka 97-98 terjadi, antara lain, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot tajam terdampak petaka moneter yang terjadi di berbagai negara Asia. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil kebijakan pengetatan likuiditas dengan mencabut izin usaha dari 16 bank.3 Namun, masyarakat yang khawatir dan tidak optimistis justru melakukan tindakan tergesa-gesa dengan menarik dana secara besar-besaran dari bank. Alhasil, keseluruhan perbankan pada masa itu mengalami kesulitan dana.4
Kedua, sikap optimistis penting dimiliki agar kita mampu memutuskan untuk tetap bertindak benar sekalipun kesusahan akibat petaka ekonomi seakan-akan “mendesak” kita untuk bertindak egois. Dengan sikap optimistis, kita bahkan mampu menolak godaan mencari untung sendiri dengan merugikan orang lain, menghindarkan diri dari perilaku gelap mata, dan tak mudah terprovokasi.
Pada masa petaka 59-66, harga barang-barang menjadi sangat mahal. Situasi diperparah pula oleh petaka alam yang menyebabkan kegagalan panen beras di berbagai daerah. Alhasil, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dan bantuan pemerintah diperlukan untuk menerima pembagian beras. Anehnya, ada saja oknum pejabat yang mencari celah untuk menguntungkan diri sendiri dengan menerima jatah beras hingga berkali-kali.5 Perilaku pejabat itu egois dan tentu jauh dari sikap optimistis.
Pada masa petaka 97-98, kesusahan yang dialami masyarakat saat itu, ditambah dengan tensi politik dalam negeri yang meninggi, mengakibatkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Salah satu kerusuhan itu adalah penjarahan besar-besaran terhadap pusat perbelanjaan di berbagai kota di Indonesia. Peristiwa kelam itu menunjukkan betapa saat masyarakat abai dalam bersikap optimistis di tengah kesusahan, bisa membuat orang menjadi gelap mata dan mudah terprovokasi sehingga melakukan tindakan yang anarkis.
Dua pelajaran di atas sangatlah bermanfaat dalam halnya kita menghadapi petaka ekonomi di masa depan. Sikap optimistis kita tentu patut diiringi dengan pengelolaan keuangan pribadi yang baik sehingga dapat membantu kita saat menghadapi situasi sulit di tengah petaka ekonomi. Tentu pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih baik sehingga mampu mengantisipasi dan bahkan mencegah kemungkinan petaka ekonomi terjadi lagi pada bangsa ini.
Petaka ekonomi menunjukkan bahwa kita, walaupun dalam keadaan sulit, tetap mampu bertahan dengan tindakan dan respon yang tepat. Respon terbaik adalah tetap bersikap optimistis dalam menghadapi kesulitan bahkan akibat petaka ekonomi.
Catatan
1 Unit Khusus Museum Bank Indonesia. “Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1959-1966”, hal. 2. Makalan dapat diakses dalam situs Bank Indonesia. <https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Documents/cdb6700dabd84a92b03f8fe8d5cd27caSejarahMoneterPeriode19591966.pdf>
2 Ariobimo Nusantara,. Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A. Katili,. Jakarta: Grasindo, 2007, hal. 110.
3 Unit Khusus Museum Bank Indonesia. “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1997-1999”, hal. 2. Makalah dapat diakses dalam situs Bank Indonesia. <https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Documents/f2310af43715441bb8d57d865ea7987cSejarahPerbankanPeriode19971999.pdf>
4 Unit Khusus Museum Bank Indonesia. “Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1997-1999”, hal. 2. Makalah dapat diakses dalam situs Bank Indonesia. <https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Documents/f0c4cdd061e4493fafe0cadf16ec4235SejarahMoneterPeriode19971999.pdf>
5 “Sedih dan Lapar: Ada Apa dengan Lebaran 1960-an dan 2020?” dalam situs Republika. <https://republika.co.id/berita/qaw7oy385/sedih-dan-lapar-ada-apa-dengan-lebaran-1960an-dan-2020-part1>.
Foto diambil oleh Milan Rout dalam situs Pexels. <https://www.pexels.com/photo/man-sitting-at-the-side-of-the-road-leaning-back-on-road-railing-near-cars-during-day-3107799/>.