Lompat ke konten

Tanah: Diwariskan untuk Dimanfaatkan

 

Mungkin bagi sebagian di antara kita tanah warisan bukanlah sesuatu yang sering dibicarakan. Jika pun dibicarakan, biasanya pembicaraan bernuansa negatif (misalnya, tentang sengketa tanah warisan atau keluarga yang berselisih memperebutkan tanah warisan). Padahal, Alkitab bicara tentang tanah (perjanjian) sebagai sebuah sesuatu yang sangat besar—penggenapan janji-Nya bagi umat-Nya.

Salah satu bagian itu adalah Yosua 13-19, kisah pembagian tanah di antara suku Israel. Membaca Yosua 13-19 mungkin sekali terasa boyak—membosankan—seperti membaca peta tanpa gambar. Namun bagi bani Israel, pembaca mula-mula kitab itu, Yosua 13-19 mengandung prinsip penting: tanah perjanjian diwariskan Allah untuk kemudian harus dimanfaatkan. Kita pun, orang Kristen Indonesia hari ini, dapat mendulang prinsip penting itu.

Bangsa Israel, setelah keluar dari tanah Mesir dan berputar-putar di padang gurun selama puluhan tahun, akhirnya hampir masuk ke dalam tanah yang telah lama dijanjikan Allah kepada Abraham. Yosua 13-19 didahului oleh kemenangan Israel atas bangsa-bangsa Kanaan yang memang dihukum Allah karena rusak secara moral.

Setelah itu, Yosua harus membagi-bagikan tanah itu kepada kedua belas suku Israel. Yosua 13-19 menceritakan pembagian tanah itu di dalam konteks besar kitab Yosua yang menggarisbawahi kesetiaan Allah dan aksi-aksi ajaib-Nya. Hal ini akan mengantar kita kepada prinsip besar pertama dalam bagian Alkitab yang seolah boyak ini: Allah lah yang mewariskan tanah itu kepada orang Israel.

Perikop-perikop pembagian tanah menegaskan bahwa Allah aktif bekerja dalam dunia secara nyata dalam sejarah untuk menyatakan keadilan bagi bangsa-bangsa dan untuk memelihara hidup umat-Nya. Membaca Yosua 13-19 harusnya menegaskan kepada kita prinsip kasih karunia kristiani: tanah atau harta secara umum adalah pemberian Allah dan kita tidak boleh menyombongkan diri atasnya. 

Prinsip pewarisan tanah ini juga mempertegas konsep Alkitab bahwa tubuh dan hal-hal jasmaniah itu sama pentingnya dengan hal-hal rohaniah. Yosua 13-19 bicara tentang pembagian tanah—sesuatu yang bersifat jasmaniah. Orang Kristen tidak boleh berkutat kepada hal-hal rohaniah belaka. Allah juga mementingkan dan mendesain konsep riil seperti tanah, kediaman, dan aspek-aspek fisik yang menunjang kehidupan. 

Setelah diwariskan, umat Israel harus memanfaatkan tanah itu—inilah prinsip besar kedua yang dapat kita pelajari dari Yosua 13-19. Pembagian tanah menegaskan misi umat Allah untuk bekerja mengelola dan mengembangkan segala sumber daya di atas tanah yang ia berikan kepada kita. Tempat kita berdiam bukanlah untuk sekadar berdiam diri. Kita harus bergerak di atas tanah yang kita pijak untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menunjang kehidupan.

Tak heran, Yosua 13-19 tak hanya bicara mengenai tanah, tetapi juga bicara mengenai tempat penggembalaan (misal, Yos. 14:14). Bagi orang Israel saat itu, gembala adalah salah satu profesi penting untuk memenuhi kehidupan pokok. Hal ini berlaku juga bagi kita, pewaris tanah air di bumi pertiwi Indonesia. Kita perlu memanfaatkan segala sumber daya, baik alam maupun non-alam, untuk menunjang kehidupan dan kemajuan bangsa. 

Prinsip pewarisan itu tentunya berlawanan dengan nilai-nilai dunia populer yang mengedepankan upaya dan usaha manusia dalam mencapai kesuksesan hidup. Fakta bahwa yang diwariskan adalah tanah—sebuah benda konkret—juga melawan nilai keagamaan (dapat dijumpai pula dalam beberapa aliran Kristen) yang terlalu mengedepankan aspek roh dan mengesampingkan tubuh. 

Prinsip pemanfaatan memerintahkan kita untuk secara aktif mengelola harta dan sumber daya kita. Kita orang Kristen memiliki “tempat-tempat penggembalaan” masing-masing untuk berkarya dan menghasilkan manfaat. Hal ini kontras dengan ajaran fatalis yang pasrah dan pasif terhadap “takdir” ataupun versi “kristen”-nya: hanya menekankan doa tanpa mendorong upaya atau kerja keras.

Jelaslah bagi kita bahwa Yosua 13-19, meskipun mungkin terasa boyak, mengandung makna-makna penting dan bermanfaat bagi kita orang Kristen hari ini. Maka sayanglah jika kita mengidap “PL fobia” (karena bagian-bagian yang sering dianggap boyak ada di dalam Perjanjian Lama).1

Setelah membaca Yosua 13-19, mungkin sudah saatnya kita membicarakan—dan menyikapi—tanah dengan sikap yang lebih positif.

Catatan

­1 Sam Tumanggor. Di Bumi Seperti Di Surga #1. Jakarta: Yayasan Karya Kata Nusantara, 2019, hal. 60.

Foto diambil oleh Maksim Shutov dalam situs Unsplash. <https://unsplash.com/photos/kdLKidl6Lrc>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *