Lompat ke konten

Tanggap dan Tangguh Menghadapi Petaka Alam

Petaka alam seperti tsunami, letusan gunung berapi, dan gempa bumi memiliki siklus berulang. Artinya, petaka alam yang telah terjadi ratusan tahun lalu ataupun beberapa tahun belakangan ini berpotensi untuk terjadi lagi di masa yang akan datang.1 Dua contohnya yang terkenal di Indonesia adalah letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 dan tsunami Aceh pada tahun 2004.

Petaka alam tentunya mengganggu kehidupan masyarakat. Selain menimbulkan korban jiwa, petaka alam juga merusak lingkungan, memusnahkan harta benda, dan memberi dampak psikologis kepada para penyintas. Sikap yang penting dikembangkan dalam menghadapinya adalah tanggap dan tangguh. Mari kita mengkaji kedua sikap itu berdasarkan dua contoh petaka alam di Indonesia tadi.

Sikap tanggap penting kita kembangkan karena dapat meminimalkan dampak petaka alam. Salah satu cara yang mudah untuk mengembangkannya adalah dengan belajar dari kearifan lokal terkait petaka alam. Dari kearifan lokal kita bisa memperoleh pengetahuan tentang tanda-tanda kemunculan petaka alam dan tindakan penyelamatan diri yang tepat.

Kearifan lokal membuat masyarakat Pulau Simeuleu di DI Aceh tanggap ketika menghadapi tsunami Aceh. Mereka memiliki cerita lisan turun-temurun tentang smong, yaitu tsunami yang dialami leluhur mereka pada zaman dahulu. Berbekal cerita itu, mereka tanggap mengenali tanda-tanda munculnya tsunami dan sigap bertindak menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Saat tsunami Aceh terjadi, hanya tiga orang dari sekitar 70.000 penduduk Simeuleu yang menjadi korban.2

Kearifan lokal juga membuat masyarakat Merapi di DI Yogyakarta tanggap ketika Gunung Merapi meletus. Karena Gunung Merapi sudah berkali-kali meletus sejak zaman dahulu, mereka jadi mewarisi pengetahuan tentang tanda-tanda menjelang letusan gunung, misalnya suhu udara yang jadi lebih panas dan hewan-hewan yang turun dari gunung. Bahkan apabila ada lahar yang keluar dari gunung, mereka sudah siap siaga menyelamatkan diri tanpa perlu menunggu peringatan dari pemerintah.3

Sikap tangguh penting kita kembangkan karena dapat mempercepat proses pemulihan masyarakat dan lingkungan setelah mengalami petaka alam. Salah satu cara yang baik untuk mengembangkannya adalah dengan membangun kerja sama atau gotong royong di antara berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dll.) untuk mengembalikan situasi seperti sedia kala.

Kerja sama antara masyarakat dan pemerintah menunjukkan ketangguhan warga Aceh pascatsunami tahun 2004. Pemerintah, diwakili oleh kepala-kepala desa, mengadakan pertemuan rutin dengan masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pemulihan ekonomi, seperti pengembangan kebun rumah tangga.4 LSM internasional dan lokal mengerjakan program pemulihan mata pencaharian masyarakat dalam bidang pertanian, perikanan, dan Usaha Kecil Menengah (UKM).5

Gotong royong masyarakat Merapi juga menunjukkan ketangguhan mereka pascaletusan Gunung Merapi tahun 2010. Setelah rumah, lahan pertanian, dan tanaman dirusak lahar, mereka bekerja bersama—tanpa imbalan apa-apa—untuk memulihkan lingkungan. Mereka memperbaiki jalan, membangun jembatan, membersihkan selokan, dll.6

Selain kearifan lokal dan kerja sama berbagai pihak, pengembangan sikap tanggap dan tangguh juga memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang efektif. Kita membutuhkan alat pendeteksi bencana yang canggih dan memadai seperti buoy untuk mendeteksi tsunami dan seismometer untuk mendeteksi getaran bumi akibat letusan gunung. Namun, ketersediaan peralatan itu juga perlu didukung oleh kesadaran masyarakat untuk memeliharanya sehingga tetap berfungsi dengan baik.

Petaka alam adalah peristiwa yang dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa bisa kita hindari. Namun, dengan belajar dari kearifan lokal dan membangun kerja sama atau gotong royong, kita dapat menjadi menghadapinya secara tanggap dan tangguh.


Catatan

1 Gloria Setyvani Putri. “Indonesia Rawan Tsunami, Manakah Wilayah yang Paling Rentan?” dalam situs National Geographic Indonesia. <https://nationalgeographic.grid.id/read/131804119/indonesia-rawan-tsunami-manakah-wilayah-yang-paling-rentan?page=all>.

2 Alfi Rahman. “Smong, Cerita Lisan Simeulue yang Selamatkan Penduduk dari Amukan Tsunami Terdahsyat” dalam situs The Conversation. <https://theconversation.com/smong-cerita-lisan-simeulue-yang-selamatkan-penduduk-dari-amukan-tsunami-terdahsyat-105388>.

3 “Mitigasi Bencana: Masyarakat Semakin Peduli, tapi Masih Hadapi Masalah biaya” dalam situs BBC. <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49820968>.

4 “Rekonstruksi Aceh Pascatsunami” dalam situs Kompas. <https://nasional.kompas.com/read/2008/04/14/17131614/rekonstruksi.aceh.pascatsunami>.

5  Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dkk.  “Aceh dan Nias Setahun Setelah Tsunami: Upaya Pemulihan

dan Langkah ke Depan” dalam situs World Bank. <http://documents1.worldbank.org/curated/pt/394571468285605668/pdf/355070INDONESI1Tsunami1Bhs01PUBLIC1.pdf>.

6 Gunawan Prawiro. “Kearifan Masyarakat Lereng Merapi Bagian Selatan, Kabupaten Sleman – Daerah Istimewa Yogyakarta” dalam Sosio Informa, Vol. 1, No. 02, Mei-Agustus 2015.

Foto diambil oleh Elang Wardhana dalam situs Unsplash. https://unsplash.com/photos/c0jO22uqX0g